Iklan

iklan

Iklan

,

Iklan

Andil Alex dan Frans Mendur Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI

Feb 8, 2021, 11:46 WIB Last Updated 2021-02-08T04:46:04Z
Pengurus PWI Minahasa di Monument Alex dan Frans Mendur

GlobalSatu.com, Minahasa - Alex Mendur dan Frans Mendur adalah dua tokoh asal Kawangkoan Kabupaten Minahasa yang memiliki andil besar dalam penyebarluasan momen bersejarah perjuangan dan kemerdekaan Indonesia melalui karya-karya foto jurnalistiknya. 


Hal itu sebagaimana diceritakan cucu dari Alex Mendur, Piere Mendur yang saat ini menjadi penjaga kompleks Tugu Pers Mendur Kawangkoan, dimana penuturannya tersebut sebagaimana tertulis dalam sebuah buku berjudul Alex Impurung Mendur yang ditulis oleh Wiwi Kuswiah terbitan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986.


Alex Impurung Mendur dilahirkan di Desa Talikuran (sekarang Kelurahan Talikuran) Kawangkoan tanggal 7 November 1907 di dari pasangan suami istri August Mendur dan Ariance Mononimbar di sebuah rumah panggung khas Minahasa. 


Sebagai anggota keluarga Kristen, Alex Mendur dibaptis waktu berusia 3 bulan oleh Pndeta Reimper di Gereja Protestan (Indishe Kerk) Kawangkoan, yaitu gereja Pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mendapatkan nama baptis menjadi Alexius Impurung Mendur. 


Saat usia sekitar 6 tahun Alex Mendur masuk Sekolah yang masih berstatus gouvernement yang bernama Volkschool Gouvernement dengan kepala sekolah E. Lapian (ayah dari BW. Lapian. 


Dalam riwayat pendidikan dasar, Alex Mendur hanya berhasil menyelesaikan sekolahnya pada jenjang kelas 5 dalam usia 11 tahun pada tahun 1918.


Namun sayang, saat itu Alex Mendur tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor tidak ada biaya dan beban finansial semakin terasa berat saat kelahiran adik-adiknya, yaitu Juliana Mendur, Bernard Mendur, Frans Soemarta Mendur, Hein Mendur, Paul Mendur, Margoce Mendur, Cinstanse Mendur, Tientje Mendur dan Catoce Mendur. 


Hal itu mendorong Alex Mendur berpikir dan berupaya mencari jalan keluar untuk meringankan beban ekonomi sang ayah, karena sebagai anak yang tertua, ia merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan adik-adiknya. 


Alex pun membantu orangtua berdagang dan bertani sambil belajar bahasa Inggris dari buku-buku pemberian gurunya sewaktu masih bersekolah. 


Hingga dewasa, Alex Mendur bekerja keras terus mencari jalan untuk tetap meringankan beban ekonomi keluarganya. 


Sempat dilanda kebingungan, akhirnya jalan keluar mulai nampak dengan terdengarnya kabar ada ada saudara Alex Mendur pulang ke Kawangkoan dari tanah Jawa. 


Dia adalah Anton Nayoan asal Desa Tondegesan yang telah sekian tahun merantau di tanah Jawa dan bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan Belanda yang menjual alat-alat dan bahan keperluan dan perlengkapan fotografi. 


Setelah bertemu, Anton Nayoan berniat untuk mengajak Alex Mendur untuk ikut bersamanya ke tanah Jawa dan hal itu ditanggapi positif oleh Alex sendiri. 


Alex sendiri memang telah memiliki keinginan yang kuat untuk merantau ke tanah Jawa dengan maksud untuk belajar hidup mandiri dan mencari pengalaman guna meringankan beban ekonomi keluarganya. 


Niat untuk merantau ke tanah Jawa disampaikan kepada kedua orangtuanya dan sempat mendapatkan penolakan dengan alasan Alex belum cukup umur untuk hidup jauh dari keluarga. 


Berkat bantuan Anton Nayoan yang gigih meyakinkan orangtua Alex, akhirnya permintaan untuk pergi ke tanah Jawa dikabulkan. 


Sebelum berangkat ke tanah Jawa, kerabat dan keluarga Alex Mendur diundang ke rumah untuk mengadakan jamuan perpisahan melepas Alex ke tanah Jawa.


Begitu tiba di Jawa, Alex Mendur diperkenalkan dengan dunia fotografi di perusahaan Belanda tempat Anton Nayoan bekerja.


Alex akhirnya mendapat tugas untuk menekuni bidang teknologi yang masih baru pada waktu itu, dimana pengetahuan yang diberikan Anton Nayoan tentang fotografi dirasakan sangat bermamnfaat dan menjadi modal untuk menjalani hidup selanjutnya.


Alex mulai belajar fotografi dari dasar, yaitu mulai dari mencuci film, mengeringkan sampai siap menjadi foto, dimana semua proses yang dilaluinya itu dilakukan dengan penuh kesabaran.


Waktu yang dihabiskan Alex Mendur untuk belajar seluk beluk dunia fotografi sekitar 6 tahun, hingga dirinya tampak mahir mempraktekkan teknologi dalam fotografi.


Jadi dapat dikatakan bahwa disamping bekerja di perusahaan Belanda tersebut, Alex juga sambil belajar alat-alat fotografi hingga tahun 1926 dan selanjutnya ia bekerja di perusahaan fotografi milik Inggris di Bandung.


Tidak lama mengadu nasib di Bandung, Alex pindah ke Jakarta dan bekerja di perusahaan Jerman yaitu Kodak yang juga bergerak di bisnis penjualan alat-alat fotografi.


Di Jakarta, Alex berkenalan dengan Keluarga Wowor yang juga berasal dari Manado yang mempunyai anak perempuan bernama Emmy Agustina Wowor yang akhirnya dinikahi pada tahun 1929 di Jakarta dan tinggal di daerah Mangga Besar.


Alex akhirnya mencoba melamar pekerjaan harian Belanda terkemuka pada saat itu yaitu bernama “De Java Bode”, dimana surat kabar tersebut dianggap terkenalkarena terbit di Batavia dari abad 19 sampai dengan Perang Dunia II.


Pada saat yang sama, Alex Mendur sebenarnya juga sedang bekerja di Majalah Actuaeel Wereld Nieuws En Sport In Beeld sebagai juru foto antara tahun 1931-1934 yang berstatus sebagai anak perusahaan dari Harian De Java Bode.


Tahun 1932 saat Alex Mnedur berusia 25 tahun, Alex Mendur akhirnya diterima bekerja di De Java Bode sebagai wartawan foto.


Waktu itu, wartawan foto di Jakarta baru Alex Mendur dan dua orang dari Belanda serta bekerja selama kurang lebih tiga tahun (1932-1935.


Namun demikian, pengalaman yang diperoleh di De Java Bode tidak bisa dilupakan, sudah termasuk didalamnya memndidik adiknya Frans Soemarto Mendur menjadi juru foto.


Pada awal penjajahan Jepang, Alex Mendur dan kehidupan keluarganya sempat mengalami masa suram, namun di sisi lain ia ditunjuk Pemerintah Jepang untuk bekerja sebagai Kepala bagian Kantor Berita Domei.


Kantor Berita Domei ini kelak setelah Indonesia merdeka Namanya berubah menjadi Kantor Berita Antara, dimana nama tersebut diambil karena Soemanang dahulu pernah menerbitkan mingguan di Kota Bogor bernama “Perantaraan”.


Untuk mnedapatkan penghasilan tambahan, Alelx Mendur dan Adam Malik bekerja sama dengan mencatut kamera serta jam tangan dan hal itu disenangi oleh Jepang karena menyukai kamera “Leica serta jam tangan “Mido”.


Jepang Menyerah

Sampailah pada suatu momen dimana Jepang terdesak oleh karena tindakan sekutu yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki masi ng-masing dengan bom atom pada tahun 1945.


Saat itu Sudah menjadi informasi yang diketahui banyak orang, bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu dan secara karena secara berantai kabar tersebut sampai ke telinga rakyat bahwa Indonesia akan merdeka dan akan segera memproklamasikannya.


Maka, setelah adanya perundingan antara Jepang dan Presiden Soekarno - Mohamad Hatta, dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya yaitu mempersiapkan serta melaksanakan proklamasi kemerdekaan serta mengesahkan rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh BPUPKI.


Tanggal 17 Agustus 1945, sekitar pukul 10.00 WITA bertempat di Jalan Pegansaan Timur 56 tersiar kabar bahwa akan dilakukan proklamasi kemerdekaan oleh Presiden Soekarno dan Mohamad Hatta.


Hal ini memicu instinct jurnalistik Alex Mendur setelah mengetahui kabar tersebut dari Zahrudi yang bekerja di Kantor Berita Domei tanggal 16 Agustus 1945.


Bagi Alex, hal itu merupakan momentum bersejarah yang tidak boleh dilewatkan.


Oleh karena itu, tepat pada 17 Agustus 1945, Alex Mendur menuju Jalan Pegangsaan Timur 56 bersama sang adik Frans Mendur dengan tetap mewaspadai situasi agar tidak diketahui oleh tantara Jepang.


Tiba di lokasi akan dibacakan proklamasi kemerdekaan, baik Alex dan Frans, sama-sama mempersiapkan kamera yang dibawa.


Waktu itu yang mengambil foto hanya dua orang saja yaitu Alex Mendur dan Frans Mendur, dimana keduanya berhasil mengabadikan momen bersejarah bagi bangsa Indonesia dengan kamera merk Leica.


Setelah selesai, Alex dan Frans langsung bergegas untuk kembali ke kantor untuk memproses filmnya, namun sialnya, hasil karya Alex dalam bentuk film yang sedang dikeringkan dirampas oleh tantara Jepang.


Beruntung, berkat kecerdikan Frans Mendur, film yang ada padanya tidak langsung dicetak, melainkan ditimbun di dalam tanah selama.


Barulah setelah kondisi terasa aman, film milik Frans Mendur yang berisikan detik-detik berjsejarah bangsa Indonesia itu dilakukan proses cetak.


Menurut penuturan Piere Mendur yang saat ini tinggal dan menjaga lokasi Tugu Pers Mendur di Kelurahan Kinali Kawangkoan Utara ini, bahwa hasil liputan Frans Mendur itulah yang saat ini bisa dilihat oleh masyarakat lua dan tercantum di berbagai buku sejarah yang ada di sekolah-sekolah.


Setelah peristiwa bersejarah itu, Alex dan Frans Mnedur tetap berkomitmen untuk bekerja di bidnag fotografi sambil mengabadikan presitiwa-peristiwa penting terkait perjalanan bangsa Indonesia dan akhirnya menjadi titik awal kehidupan yang baru bagi Alex dan Frans.


Berdirinya IPPHOS

Sesudah kemerdekaan Indonesia, Alex Mnedur bekerja di Harian Merdeka yang didirikan oleh BM. Diah dan ia sering didatangi oleh wartawan-wartwan yang berasal dari luar negeri untuk meminta foto-foto tentang tokoh-tokoh bangsa seperti Presiden Soekarno, Mohamad Hatta, Sutan Syahrir dan tentu saja foto saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, serta tidak ketinggalan foto-foto para pemuda pejuang, rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.


Dari situlah muncul ide untuk mendirikan kantor berita foto, dimana tujuannya yaitu agar bisa lebih memperluas karya-karya foto jurnalistik kedua kakak beradik ini.


Untuk maksud ini, Alex Mendur bertemu rekan seprofesi seperti JK. Umbas, FF. Umbas dan sang adik Frans Mendur, dengan maksud berdiskusi tentang segala sesuatu yang dibutuhkan dalam rangka pendirian kantor berita foto tersebut.


Akhirnya, didirikanlah sebuah kantor berita foto, akan tetapi saat itu belum ada Namanya dan juga belum berbadan hukum seperti sebutan saat ini yaitu Perseroan Terbatas (PT), namun sudah beroperasi sejak tahun 1945.


Karena seringnya wartawan asing seperti dari United Press, Frans Agency serta duta-duta lain dari Amerika Serikat seperti FBI, maka kantor berita foto yang didikan Alex Mendur dan beberapa rekan seprofesi semakin dikenal luas.


Dari wartawan asing itulah tercetus sebutan “Indonesian Press Photo”, maka timbulah ide dari Frans Umbas untuk memberi nama Indonesian Press Photo Service atau disingkat IPPHOS.


Tanggal 2 Oktober 1946, kantor berita foto Alex Mendur resmi berbadan hukum dengan nama resminya NV. IPPHOS Coy Ltd, dimana dalam dokumen pendirian perusahaan tercantum nama-nama pendiri antara lain Alex Mendur sendiri, Frans Mendur, JK. Umbas, FF. Umbas, Alex Mamusung.


Seiring perjalanan waktu, IPPHOS diperkuat oleh M. Jacob, Aniem Abdul Rachman dan sejumlah rekan seprofesi lainnya.


Dalam menjalankan usahanya, IPPHOS menembpati sebuah gedung bekas perusahaan Belanda yaitu Fermont & Cuipers yang berlokasi di Jalan Mqlenvliet Oost (sekarang Jalan Hayam Wuruk) Nomor 30 Jakarta.


Dengan didiirikannya IPPHOS, tidak juga membuat usaha Alex Mendur dan kawan-kawan seprofesi mulus, kakrena harus berpikir bagaimana menyimpan negatif film tentang perjuangan yang paling penting dan tidak dimiliki orang lain agar tidak rusak.


Alex Mendur sendiri yang melakukan tugas tersebut dan untuk itu dia menghubungi Angkatan 45 untuk mengupayakan penyimpanan negatif film tersebut dan hal itu mendapatkan respon yang baik.


Dalam dokumen akte pendirian perusahaan IPPHOS, dijelaskan bahwa maksud dan tujuan adalah mendirikan foto press nasional serta membuat semacam dokumentasi bertemakan perjuangan, melakukan koordinasi seluruh sumber daya tenaga yang ada di seluruh kepulauan Indonesia, termasuk didalamnya mendidik para pemuda untuk memiliki kepedulian terhadap dunia fotografi.


Saat memulai pekerjaan di IPPHOS Alex Mendur bermodalkan kamera merk Leica bauta Jerman, sedangkan FF. Umbas menggunakan kamera bermerk Roll Eiflex.


Diluar tanggung jawab utama sebagai wartawan foto di IPPHOS, Alex Mendur dan FF. Umbas juga melakoni usaha sampingan untuk keperlua foto berbagai kegiatan lain seperti acara perkawinan, sunata, kematian, pesta ulang tahun dan acara-acara keluarga.


Hal itu dilakukan dalam rangka untuk membiayai pengeluaran dalam operasional IPPHOS dan untuk urusan administrasi kantor, tanggung jawab itu diserahkan kepada JK. Umbas dan Alex Mamusung.


IPPHOS pun terus berkembang hingga bisa membuka kantor cabang di Yogyakarta tahun 1946 dan pengelolaannya diberikan kepercayaan kepada Frans Mendur dan Alex Mamusung.


Selanjutnya tahun 1948 dibukan juga Kantor Cabang IPPHOS di Semarang, Palembang, Ujung Pandang dan setahun kemudian pada 1949 juga hadir di Surabaya, Manado, bandung dan Medan dengan status Kantor Perwakilan.


Saat Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri, IPPHOS semakin kuat perkembangannya, karena saat itu Bung Syahrir menginginkan kegiatan-kegiatan pemerintah dapat diabadikan dalam bentuk foto.


Dari situlah Alex Mendur mulai berkenalan dengan banyak pejabat negara, tak terkecuali Presiden Soekarno, Mohamad Hatta dan Alex Kawilarang.

Karena kedekatan dengan Bung Karno, pada suatu saat ketika sang Proklamator berada di Istana Yogyakarta, Alex Mendur bersama JK. Umbas dan juga Frans Mendur diundang untuk berbincang-bincang tentang perkembangan IPPHOS.


Tidak hanya saat itu saja, Alex Mendur ternyata sering diajak untuk sarapan bersama Presiden Soekarno di Istana Yogyakarta dan hal serupa juga terjadi saat mereka berada di kediamannya Bung Hatta.


Seiring waktu berjalan, karya-karya jurnalisitk IPPHOS mendapatkan komentar positif dari Adam Malik bahwa “Foto lebih berharga daripada penulisan fakta (kenyataan) suatu peristiwa itu sendiri. Kalau tulisan dapat dipalsukan, tetapi foto tidak bisa”.


Masa jaya IPPHOS terjadi pada tahun 1950-an, dimana kantoer berita ini berhasil mengeuasainkerta koran berkat usaha FF. Umbas yang berupaya mencari kertas koran dan foto, serta sempat menguasai pasara Eropa dengan menjadi penyalur tunggal.


Masa kejayaan IPPHOS pun dilengkapi dengan diangkatnya FF. Umbas menjadi Menteri Muda Urusan Perekonomian pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II.


Hal itu ternyata membuat operasional IPPHOS agak pincang dan menuntut Alex Mendur berupaya untuk mengatasinya, meski setelah tugas-tugas sebagai Menteri usai pada tahun 1956 FF. Umbas kembali bekerja di IPPHOS, namun situasi sudah lain dari sebelumnya.


Masalah terbesar IPPHOS saat itu, ketika para pendiri seperti mulai lanjut usia dan tidak ada orang yang lebuh muda mau meneruskan usaha tersebut, menyusul meninggalnya Alex Mendur karena sakit.


Tahun 1955, Alex Mendur diangkat menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesian (PWI) saat Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jaya (Jakarta) dan juga mendapatkan berbegai penghargaan sebagai apresiasi terhadap seluruh karyanya bersama IPPHOS.


5 Desember 1984 merpakan terakhir kalinya Alex Mendur berkunjung ke Kantor IPPHOS dan dua hari berselang ia sakit di bagian prostat, dimana terjadi pengapuran pada saluran kencing sehingga dilakukan tindakan operasi pada 13 Desember 1984.


Setelah sempat berdoa pada 30 Desember 1984, Alex Mendur menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Advent Bandung sekitar pukul 4.30 pagi pada hari Minggu dan dimakamkan keesokan harinya di lahan pemakaman Pandu Bandung dalam usia 77 tahun.


Kini, Piere Mendur yang juga sempat merasakan bekerja sebagai wartawan IPPHOS mengharapkan suatu saat kelak spirit Alex Mendur dan Frans Mendur dapat menjadi motivasi bagi wartawan-wartawan zaman millenial saat ini untuk berkarya dengan motivasi yang tulus.


“Semoga pegabdian Alex dan Frans Mendur ini menjadi kenangan yang akan selalu diingat oleh generasi muda saat ini khususnya teman-teman wartawan. Mudah-mudahan suatu saat IPPHOS akan kembali bangkit dan meneruskan harapan serta cita-cita Alex dan Frans Mendur,” harapnya.

Iklan