Opini; Efraim Lengkong
Ketua Kelompok Pelayanan Lansia (KPL) Jemaat GMIM Karunia Sea1/Waka KPL Wilayah Malalayang Timur.
KURANGNYA MODAL dan mahalnya tenaga kerja memicu beralihnya "Tanah produktif menjadi lahan tidur".
Tanah sebagai faktor produksi utama perekonomian rakyat, tidak pernah bertambah sementara perebutan atau penguasaan akan tanah terus bertambah.
Ekonomi pertanian Sulawesi Utara (Sulut) terancam punah, tanah petani sebagai faktor produksi utama pertanian, mayoritas beralih kepada kelompok tertentu. 'Yang kuat akan semakin kuat merebut tanah, yang lemah semakin tersingkir'.
Penguasaan tanah secara berlebihan oleh kelompok tertentu kini semakin sulit dibendung. Lahan-lahan produktif di pesisir dan pedalaman kini tak lagi dikuasai rakyat petani.
Hal ini berdampak langsung pada ekonomi pertanian.
Selain melemahkan ekonomi rakyat, penguasaan tanah juga berakibat akan terjadinya kerawanan di bidang sosial budaya. Akibat sulitnya lapangan kerja tak jarang ditemui angkatan muda yang bekerja sebagai terapis "spa n massage" dengan ijin legal dari Dinas Pariwisata.
Ekonomi pertanian Sulawesi Utara yang dikatakan tanah jutaan rayuan pohon kelapa, terancam punah, karena tanah sebagai faktor produksi utama mayoritas tidak lagi dikuasai petani.
Seiring melemahnya sektor pertanian karena penguasaan tanah dikuti dengan berkurangnya angkatan kerja baru pertanian.
Angkatan kerja baru dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir ini bergeser dari sektor tradisional pertanian, beralih ke sektor jasa yang sangat kompetitif seperti "ojek online atau jasa online lainnya.
Tanah mereka dibeli "cicil" dengan harga murah bahkan tak jarang dibodohi oleh para mafia tanah.
Akibatnya banyak generasi baru yang "tersesat", "lost generation" dan tidak bisa berkompetisi.
Sektor industri yang sebenarnya diharapkan bisa menyerap generasi baru tak kunjung tiba.
Beberapa kawasan industri (KEK Bitung, KEK Likupang) sejauh ini baru sebatas fatamorgana.
Angkatan kerja baru Sulawesi Utara banyak yang memilih meninggalkan Sulawesi Utara. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan dan miskinnya mencari nafkah di negeri yang dikenal dengan rayuan pulau kelapa.
Sektor formal Pemerintahan dan BUMN tidak mampu menampung angkatan kerja baru lokal. "Expression of like and dislikes" menjadi harmoni dalam seleksi penerimaan.
"Lost generation" ini akan terus bertambah jika gerbang lapangan kerja dan tirai pemisah tidak segera dibuka dan bertambah.
Feodalisme baru atas nama Reformasi yang hadir belakangan ini telah menjadi momentum terbangunnya politik "dinasty" dan "hegemoni" kekuasaan.
Sudah saatnya para generasi muda untuk merubah cara pandang mereka pada "elite" politik yang mereka dukung dan bangga banggakan, untuk "keluar jalan" dari pola pikir kefanatikan dalam memilah dan memilih, agar tidak terjadi lost generation yang berkepanjangan.
(****)